• Jelajahi

    Aplikasi (1) Artis (3) Covid 19 (1) Daerah (553) Hukum (85) Internasional (187) Kampus (57) Lifestyle (16) Nasional (276) Politik (74)
    Copyright © elitnesia.id
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Kemendagri Dinilai Langgar Sejarah Aceh: Wilayah Digerus, Referendum Digaungkan Muda Seudang Bireuen

    13 Juni 2025, 19:05 WIB Last Updated 2025-06-13T18:11:44Z

     


    Elitnesia.id|Bireuen – Keputusan Pemerintah Pusat yang menetapkan empat pulau di perairan Aceh ke dalam wilayah administrasi Sumatera Utara, menuai gelombang protes keras dari masyarakat dan tokoh sipil di Aceh. Pulau Mangkir Gadang (Besar), Mangkir Ketek (Kecil), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang yang selama ini diyakini sebagai bagian dari Aceh, kini tercatat secara administratif di Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022, yang kemudian diperbarui dengan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.


    Keputusan ini dinilai tidak hanya mengabaikan aspek historis dan geografis, tetapi juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap semangat Otonomi Khusus dan Nota Kesepahaman Helsinki 2005 yang menjadi tonggak perdamaian antara Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia.


    "Ini bukan soal koordinat, ini soal kedaulatan," kata Sayed Chairul Raziq, Ketua DPW Muda Seudang Bireuen, dalam pernyataan yang diterima redaksi, Jumat (13/6).


    Ia menyebut bahwa pemindahan wilayah tersebut merupakan bentuk "perampokan administratif" yang sistematis dan disengaja, dengan tujuan menguasai potensi ekonomi strategis di wilayah pesisir Aceh.


    Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pulau Mangkir Gadang (Besar) dan Pulau Mangkir Kretek (Kecil) dikenal sebagai kawasan dengan potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang kaya.


    "Jika ini dibiarkan, apa jaminan ke depan Aceh tidak kehilangan lagi wilayah lainnya? Kami lelah terus menjadi korban. Jika Pemerintah Indonesia tak mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan, maka wacana referendum layak dikedepankan sebagai bentuk perlawanan konstitusional," ujar Sayed.


    Sayed juga menyoroti lemahnya implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan menilai janji-janji dalam Otonomi Khusus hanya menjadi formalitas politik yang gagal menjawab kebutuhan rakyat Aceh secara riil.


    "Aceh telah berulang kali dikecewakan. 70 persen sumber daya migas Aceh diambil untuk kepentingan pusat. Yang kembali ke daerah hanyalah sisanya. Kini wilayah pun mulai dicabik. Di mana keadilannya?" ucapnya.


    Ia menambahkan, jika pemerintah pusat tetap abai terhadap suara rakyat Aceh, maka tidak ada pilihan lain selain membawa persoalan ini ke forum internasional.


    “Timor Leste merdeka karena keadilan tak pernah datang. Papua pun terus menggugat. Kini, giliran Aceh bersuara. Jika perlu Pemrintah Aceh bisa membangun diplomasi luar negeri untuk membawa perkara ini sampai ke PBB dan Menggugat ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice / ICJ),  Ini bukan ancaman, ini peringatan,” tegasnya.

    Komentar

    Tampilkan

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Terkini