Elitnesia.id| Banda Aceh,— Permohonan sejumlah keuchik di Aceh kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar masa jabatan mereka diperpanjang menjadi delapan tahun memicu kontroversi dan menuai kekecewaan dari berbagai kalangan masyarakat. Gugatan itu dinilai tidak mencerminkan kepentingan publik dan berpotensi melemahkan kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Dalam sidang perdana di MK, sebagaimana terekam dalam video yang dirilis Humas MKRI, salah satu hakim menyatakan bahwa Aceh memiliki kekhususan yang diatur dalam undang-undang, termasuk dalam hal tata kelola pemerintahan. “Aceh punya undang-undang khusus. Dengan undang-undang itu, Aceh memiliki otonomi,” ujar hakim tersebut. Ia juga mengingatkan bahwa jika ada aturan yang dianggap bertentangan, sebaiknya dijelaskan secara rinci pasal-pasal yang dimaksud dan dilakukan perbaikan permohonan.
Sejumlah pihak menilai permohonan tersebut tidak didasari kajian hukum yang matang. Praktisi hukum asal Aceh, Ishak, menyebut bahwa permintaan perpanjangan masa jabatan itu justru berpotensi mencederai martabat Aceh dan melemahkan UUPA. Ia menilai gugatan tersebut terlalu dipaksakan.
“Kalau memang ada aturan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, seharusnya diuji melalui mekanisme uji materi terlebih dahulu. Bukan langsung dijadikan dasar dalam pokok permohonan,” kata Ishak kepada Kompas, Kamis (1/5/2025).
Ia juga menyayangkan langkah Pemerintah Aceh yang mengeluarkan surat penundaan pemilihan keuchik sambil menunggu putusan MK. Menurutnya, keputusan itu terburu-buru dan tidak berdasarkan kajian hukum yang komprehensif.
“Belum ada putusan, tapi sudah ditunda. Ini menunjukkan lemahnya respons hukum dari pemerintah daerah. Jangan sampai tindakan seperti ini melemahkan kewibawaan hukum di Aceh,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ishak menegaskan bahwa penerapan masa jabatan keuchik delapan tahun tidak bisa hanya dijadikan simbol kekhususan. Pemerintah Aceh, katanya, harus tetap mengacu pada kerangka hukum nasional agar kekhususan Aceh tidak disalahartikan.
“UUPA dan Undang-Undang Desa sudah mengatur. Jangan sampai kekhususan dimaknai sempit dan justru bertabrakan dengan konstitusi,” kata dia.
Mahkamah Konstitusi sendiri telah memberikan waktu perbaikan permohonan hingga 14 Mei 2025. Proses sidang lanjutan akan menentukan apakah permohonan tersebut layak untuk dilanjutkan atau ditolak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar