Padangpanjang, Sumatera Barat – Mahasiswa Pascasarjana Tari ISI Padangpanjang menunjukkan eksistensinya melalui karya tari yang berjudul "Tutur Ndilo". Mahasiswa Pascasarjana (S2) asal Medan minat Penciptaan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, MHD. Virianda Prayuda Bangun, akan menunjukkan eksistensinya dalam ranah penciptaan seni pertunjukan melalui pementasan Tari. Melalui karya bertajuk "Tutur Ndilo" yang terinspirasi dari ritual Ndilo Wari Udan pada masyarakat Karo yakni ritual memanggil hujan.
Koreografer Tari tutur Ndilo, MHD. Virianda Prayuda Bangun menyatakan “ Karya tari ini memadukan kekuatan budaya, spiritualitas, dan isu ekologis masa kini. Pertunjukan ini menjadi cara baru untuk menghidupkan kembali warisan leluhur dengan pesan yang relevan bagi zaman modern. Ritual Ndilo Wari Udan secara tradisional dilakukan saat kemarau panjang mengancam keberlangsungan pertanian dan kehidupan masyarakat. Dalam ritual ini, penari mengenakan topeng Gundala-Gundala, topeng kayu khas Karo yang dipercaya sebagai medium komunikasi dengan roh leluhur dan kekuatan alam. Gerakan tarian disertai percikan air ke tanah sebagai simbol harapan agar hujan segera turun.
Dalam karya tari kontemporer yang terinspirasi dari ritual ini, menghadirkan properti besar berbentuk segitiga raksasa di panggung arena. Bentuk segitiga ini menjadi simbol utama dalam pertunjukan, melambangkan tiga pilar penting: manusia, alam, dan lingkungan. Tiga sisi segitiga mencerminkan prinsip keseimbangan yang harus dijaga agar kehidupan tetap harmonis. Segitiga ini bukan hanya bentuk geometris, tetapi perwujudan filosofi keseimbangan hidup,” ujar sang koreografer itu.
Pimpinan Produksi Leoni Intan Sari menyatakan “Manusia, alam, dan lingkungan tidak bisa dipisahkan. Kalau satu sisi goyah, semuanya ikut runtuh. Properti segitiga ini secara simbolis dibangun dan diangkat bersama oleh para penari, menciptakan gambaran tentang kerja kolektif. Gerakan mengangkat dan menyeimbangkan segitiga menjadi metafora tentang bagaimana masyarakat harus bergotong royong menjaga harmoni kehidupan. Interaksi antara tubuh manusia dengan properti besar ini menciptakan koreografi yang menyentuh seolah menegaskan bahwa kekuatan tidak selalu terletak pada dominasi, tetapi pada kolaborasi.
Pertunjukan ini tidak hanya menawarkan visual yang menarik, tetapi juga mengajak penonton merenungkan relasi manusia dengan alam. Di tengah krisis lingkungan global, karya ini menjadi pengingat bahwa hubungan manusia dengan bumi harus dibangun di atas prinsip keseimbangan dan saling menjaga." Ujar Leoni Intan Sari M.Sn selaku pimpinan produksi.
Stage Manager Ferli Mulianto Pratama mengatakan “Karya tari ini akan dipentaskan pada tanggal 24 Juli 2025 di Laga-Laga seni Tari Institut Seni Indonesia Padangpanjang sebagai bentuk memenuhi Tugas Akhir Pascasarjana yang dibimbing oleh Dr. Ali Sukri M.Sn, dan memperkenalkan tradisi Karo dengan pendekatan modern, sekaligus mengajak masyarakat untuk lebih peduli pada lingkungan dan nilai-nilai budaya lokal. Karya ini didukung oleh penari Tony Hermawan, Farid Ramadhan, Junaisya Syifatul Qalby, Muhammad Farhan, Belala Gea, Maresha, Umi Hamsyah Nasution dan pemusik Rama Anggara M.Sn, Megi Zed, M Khaikal, Edlika Sembiring, M Giffary dan Renita Sari.” Ucap selaku Mahasiswa Pascasarjana Isi Padangpanjang minat TV dan Film itu.
MHD. Virianda Prayuda Bangun menambahkan "Lewat karya ini, penonton tidak hanya diajak menyaksikan tarian, tetapi juga diajak masuk ke dalam ruang perenungan tentang keseimbangan hidup. Di antara gerakan, topeng, dan segitiga yang terangkat bersama, terselip pesan sederhana namun mendalam: bahwa manusia dan alam adalah satu tarian yang tak bisa dipisahkan. Jika kita belajar menari bersama dengan semesta, mungkin hujan tak hanya turun dari langit, tapi juga dari kesadaran kita yang kembali pada akar harmoni." Pungkasnya. (Ichsan Saputra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar