![]() |
Wakil Ketua Komisi I DPRA, Rusyidi Mukhtar, S.Pd (dok. pribadi) |
Elitnesia.id|Bireuen, — Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rusyidi Mukhtar, menolak rencana pembangunan empat Batalyon Teritorial Pembangunan (UTP) baru oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh. Ia menilai rencana itu bertentangan dengan semangat perdamaian dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 2005.
Politikus Partai Aceh yang akrab disapa Ceulangiek itu menyampaikan penolakannya, Rabu (30/4/2025), dengan alasan situasi keamanan di Aceh yang sudah kondusif tidak memerlukan tambahan kekuatan militer.
"Aceh sudah aman dan damai. Tidak ada konflik yang mengharuskan penambahan batalyon baru. Kami menolak," kata Rusyidi.
Rencana pembangunan empat batalyon itu disebutkan akan ditempatkan di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Menurut Rusyidi, hal tersebut bertolak belakang dengan klausul 4.11 dalam MoU Helsinki yang menyatakan bahwa tugas militer Indonesia di Aceh dibatasi untuk pertahanan eksternal.
"MoU Helsinki adalah dasar hukum perdamaian Aceh. Penambahan batalyon baru tanpa dasar yang kuat jelas menabrak kesepakatan itu," ujar dia.
Ia menambahkan, jumlah personel militer organik di Aceh telah ditetapkan maksimal 14.700 personel. Selain itu, pasukan non-organik sudah ditarik sejak satu bulan setelah MoU diteken, tepatnya pada 15 September 2005, sebagai bagian dari konsolidasi pascakonflik.
Dalam pengawasan perjanjian, lanjut Rusyidi, setiap pergerakan militer yang melibatkan lebih dari satu peleton harus diberitahukan kepada Kepala Misi Monitoring. Hal ini bertujuan menjaga transparansi dan menghindari kekhawatiran masyarakat.
"Gerakan Aceh Merdeka sudah bertransformasi menjadi bagian dari masyarakat sipil. Kita tidak ingin suasana yang damai ini terganggu oleh keputusan sepihak," kata Rusyidi.
Ia juga mengingatkan bahwa langkah seperti ini bisa menimbulkan kesan kembalinya pendekatan militeristik di Aceh dan merusak kepercayaan publik terhadap komitmen perdamaian negara.
"Kami meminta pemerintah pusat dan TNI menghentikan rencana ini demi menjaga kepercayaan serta kelangsungan proses damai yang telah dibangun hampir dua dekade," ujarnya.
Penolakan ini menambah daftar suara kritis dari kalangan elite lokal terhadap kebijakan yang dinilai tidak sejalan dengan semangat rekonsiliasi dan otonomi khusus Aceh pasca konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar