Elitnesia.id|Aceh — 12/12/2025 — Anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman atau Haji Uma, meminta aparat kepolisian segera menertibkan praktik penyeberangan berbiaya tidak wajar yang terjadi di sejumlah titik di Kabupaten Bireuen. Laporan warga menyebutkan adanya pungutan biaya penyeberangan yang mencapai Rp100 hingga Rp150 ribu di dua lokasi, yakni penyeberangan Takengon–Bireuen dan penyeberangan Krung Tingkeum, Kutablang.
Haji Uma menilai praktik tersebut sangat memberatkan masyarakat yang tengah menghadapi situasi bencana. “Penyeberangan di masa bencana tidak boleh dijadikan ladang mencari untung. Saya mendapat laporan tarifnya mencapai seratus sampai seratus lima puluh ribu. Ini jelas tidak wajar dan sangat memberatkan warga,” ujar Haji Uma.
Ia menegaskan tindakan itu merupakan bentuk pemerasan yang tidak dapat ditoleransi. “Tindakan seperti ini ibarat lintah penghisap darah—memanfaatkan kesulitan rakyat untuk keuntungan pribadi. Polisi harus menertibkan dan menangkap siapa pun yang memeras warga di tengah musibah banjir,” tegasnya.
Menanggapi persoalan tersebut, Haji Uma mendesak Pemerintah Daerah dan aparat penegak hukum untuk segera turun tangan. Ia meminta agar pelaku penetapan tarif tidak wajar ditertibkan, sekaligus mendorong pemerintah menetapkan standar harga yang jelas atau bahkan menggratiskan layanan penyeberangan selama masa tanggap darurat. “Saya minta Pemerintah Daerah dan aparat penegak hukum segera turun tangan. Tetapkan standar harga yang jelas, atau kalau perlu gratiskan penyeberangan dengan menyediakan perahu bantuan. Jangan biarkan rakyat dibebani di saat mereka sudah sangat menderita,” tambahnya.
Secara langsung, Haji Uma juga telah berkomunikasi melalui WhatsApp dengan Kapolda Aceh, Irjen Ahmad Marzuki, untuk meminta agar penertiban segera dilakukan. Ia menegaskan pentingnya tindakan cepat mengingat situasi bencana yang sedang berlangsung. Menurutnya, tidak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan di atas penderitaan masyarakat.
Pelaku pungutan liar (pungli) dan pemerasan pada saat bencana alam juga dapat dijerat dengan ketentuan pidana. Dalam Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, setiap orang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum dan memaksa seseorang dapat diancam pidana penjara hingga 9 tahun. Apabila pelakunya merupakan ASN atau PNS, maka berlaku pula Pasal 423 KUHP tentang penyalahgunaan jabatan untuk melakukan pemerasan.
Haji Uma turut menegaskan bahwa memeras saat bencana tetap merupakan tindak pidana. Bencana tidak menghapus unsur pidana, karena korban bencana justru harus dilindungi negara sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam KUHP memang dikenal Pasal 48 mengenai dasar pembenar keadaan darurat, namun ketentuan ini hanya berlaku pada tindakan yang benar-benar dilakukan demi mempertahankan hidup, seperti mencuri makanan karena kelaparan, dengan syarat tindakan tersebut sangat terpaksa, tidak ada pilihan lain, dan dilakukan secara proporsional.
“Pembenaran itu tidak berlaku untuk pemerasan. Pemerasan adalah tindakan mengambil keuntungan pribadi dengan ancaman atau intimidasi. Memanfaatkan kepanikan dan kesulitan korban bencana untuk meminta uang tetap melanggar hukum dan dapat dipidana hingga 9 tahun penjara,” tegasnya.
Haji Uma berharap penindakan tegas dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat serta memastikan akses penyeberangan yang aman, manusiawi, dan layak di tengah kondisi banjir yang melanda Aceh.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar