Opini,- Di tengah dinamika politik daerah yang terus bergerak, harapan masyarakat Aceh terhadap kepemimpinan saat ini tak sekadar soal pembangunan infrastruktur atau program populis semata. Lebih dari itu, yang sangat kita inginkan adalah terwujudnya keistimewaan dan kekhususan Aceh secara nyata, bukan hanya menjadi jargon manis di spanduk atau rapat-rapat seremonial.
Saat ini, di bawah periode pemerintahan Muallem-Dek Fadh, kita berada di titik krusial yang menentukan masa depan kekhususan Aceh. Sebab, jika periode ini kembali abai atau setengah hati, boleh jadi di periode berikutnya akan jauh lebih sukar dan semakin berat mewujudkan cita-cita itu.
Keistimewaan Aceh Harus Terlihat Nyata
Sebagai daerah dengan kekhususan berdasarkan UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh), Aceh memiliki ruang konstitusional untuk mengatur berbagai hal yang tidak dimiliki oleh provinsi lain. Mulai dari pelaksanaan Syariat Islam, tata kelola pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam, hingga kelembagaan adat.
Sayangnya, hingga hari ini, banyak bidang kekhususan itu hanya berhenti di atas kertas. Qanun sebagai produk hukum daerah yang seharusnya menjadi instrumen pelaksanaan kekhususan, justru masih minim, atau kalau pun ada, banyak yang tidak berjalan maksimal.
Padahal, periode ini adalah kesempatan emas. Kita punya figur pemimpin yang memiliki akses ke berbagai lini pemerintahan Aceh, punya kekuatan politik, dan tentu saja legitimasi moral dari rakyat Aceh. Maka, jangan sia-siakan periode ini hanya dengan program normatif yang tak meninggalkan warisan strategis.
Qanun Harus Segera Diperjuangkan
Jika keistimewaan itu butuh Qanun sebagai payung hukum, maka Qanun itu harus diinisiasi dan diwujudkan sekarang. Baik melalui inisiatif DPR Aceh, usulan eksekutif, maupun kolaborasi antara kabupaten/kota dan pemerintah Aceh. Jangan menunggu gelombang politik berikutnya, karena waktu bisa saja tidak lagi berpihak.
Ada banyak sektor yang sebenarnya mendesak untuk segera dibuatkan Qanun kekhususan. Misalnya, tentang perlindungan adat istiadat di tengah arus budaya luar, penguatan lembaga dayah dan pendidikan Islam berbasis ke-Acehan, pengelolaan kekayaan sumber daya alam berbasis syariat, serta penegakan etika digital Islami di era media sosial yang semakin bebas.
Selama ini, banyak isu sensitif di masyarakat yang tidak bisa disentuh karena belum ada Qanunnya. Akhirnya, masyarakat resah, adat tergerus, agama terabaikan, dan Aceh kehilangan arah di tengah label keistimewaan yang seolah-olah hanya jadi tempelan.
Jangan Sampai Terlambat
Sekali lagi, bila periode ini tidak bisa memaksimalkan peluang, maka di periode selanjutnya jalan akan lebih sukar. Sebab, dinamika politik akan berubah, elit berganti, kepentingan berbeda, dan prioritas pemerintah Aceh ke depan belum tentu lagi mengutamakan isu kekhususan.
Apalagi, pengalaman kita menunjukkan, bahwa setiap pergantian kepemimpinan selalu diiringi dengan perubahan arah kebijakan. Maka bila sekarang tidak dipagari dengan Qanun, bisa jadi nanti segala kekhususan yang kita banggakan akan habis satu per satu tanpa bisa dicegah.
Oleh karena itu, saya ingin menegaskan, jangan tunda lagi!
Pemerintahan Muallem-Dek Fadh harus memanfaatkan periode ini sebaik-baiknya untuk benar-benar mewujudkan keistimewaan Aceh secara nyata dan terukur. Jangan terjebak dalam rutinitas proyek jangka pendek yang cepat selesai tapi tak meninggalkan legacy hukum dan adat bagi generasi mendatang.
Qanun harus menjadi prioritas, bukan pelengkap. Karena itulah jaminan konstitusional kita sebagai daerah istimewa. Jika kita abai, maka sejarah yang akan mencatat, bahwa kita pernah punya kesempatan emas, tapi memilih membiarkannya berlalu.
Karena waktu tidak menunggu. Dan rakyat pun tahu siapa yang sungguh-sungguh, siapa yang sekadar bermain peran.
Penulis : Ketua Umum DPP ABMA, Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar